Merayakan Orang-orang Baik

Fuad Saputra
3 min readSep 14, 2021
https://pngio.com/images/png-a835629.html

Dunia ini sudah busuk, ucap temanku suatu hari. Kepalanya pening, suaranya memelas, dan sejak saat itu ia yakin bahwa dunia sudah tidak ada orang baik lagi. Dunia hanya diisi oleh orang-orang jahat. Dan mereka hidup bahagia dengan kejahatan yang telah diperbuat.

Pencuri, perisak, tukang fitnah, preman tukang pukul, penjahat-penjahat kelas teri, pedofil, hingga penjahat mewah; Koruptor — menurutnya, terlalu mendominasi dunia, orang-orang baik sudah tidak ada.

Saban hari matanya sibuk menelusuri berita koran ibukota, menggelinding kan layar yang memuat berita online, hanya untuk meyakinkan ku bahwa orang baik sudah mati. Punah. Berita utama selalu berkait dengan kejahatan. Jahat, jahat, jahat. Kejahatan dimana-mana. Orang baik sudah mati. Ia yakin sekali.

Aku hanya diam, aku tidak tahu harus berkata apa. Kadang kala, aku setuju dengan pendapatnya, tapi di lain waktu aku berpikir tidak selalu seperti itu. Aku tidak punya pendirian. Benar sekali. Aku juga tau, terimakasih.

Kadang aku setuju setelah melihat portal berita yang ia tunjukkan padaku, memuat kisah tentang seorang nenek yang dihukum dua tahun penjara akibat mencuri singkong karena kelaparan. Hanya karena singkong seorang manusia yang kelaparan harus di penjara.

Sedang ditempat lain, seorang jaksa yang menerima suap puluhan milyar justru hukumannya diberi diskon. Dipermudah hanya karena ia kaya dan dekat dengan pemilik kekuasaan. Benar seperti kata temanku, dunia ini sudah rusak, tidak ada lagi orang baik.

Ketika aku sependapat dengannya, dia bakal tersenyum bahagia. Aneh sekali kami berdua, tersenyum bahagia karena kabar buruk.

Tapi pada lain waktu aku tidak setuju dengan pendapatnya, aku pikir disaat-saat tentu orang baik masih ada. Dan selayaknya kita harus rayakan. Temanku menentang habis-habisan, menurutnya mustahil sekali masih ada orang baik di dunia yang busuk ini. Dia tidak habis pikir, bagaimana aku, yang menurutnya seorang yang terpelajar justru tidak bisa merasakan gundahnya masyarakat, dan buta dengan kebobrokan dunia ini.

Aku tetap yakin masih ada orang baik. Kadang saja aku dan temanku luput. Kataku padanya suatu hari, ada tujuh milyar lebih manusia di bumi, angka yang bikin aku sakit perut bila dikonversi ke rupiah saking besarnya. Dengan orang sebanyak itu, kita hanya mampu melihat paling banyak dua ratus orang jahat, sedang sisanya kita tidak tahu apakah jahat juga, ucapku padanya.

Temanku tidak setuju, dua ratus orang jahat yang aku dan dia lihat menurutnya representasi dari sisanya. Dunia ini sudah tidak bisa ditolong. Orang jahat dimana-mana. Orang baik sudah mati semua. Titik.

“Apakah kau bagian dari representasi dua ratus orang jahat itu?” tanyaku.

“Tentu tidak, jijik sekali aku menjadi bagian mereka”

“Karena kau bukan bagian dari mereka, maka tentulah kau adalah orang baik, biar pun aku bagian dari tujuh miliar orang jahat itu, masih ada kau orang baik didunia ini, setidak masih ada orang baik di dunia, bukankah begitu?”

“Hah?”

“Untuk apa kita urus orang-orang jahat, bukankah kita lebih baik merayakan orang-orang baik yang tersisa, merayakan dirimu!”

Malamnya, aku dan temanku pulang ke kos kumuh kami, bertemu dengan teman-teman yang lain, dan minum sampai pagi sambil tertawa bahagia, seolah kami adalah kebahagian terakhir yang tersisa di bumi.

--

--