Rahasia Amira

Fuad Saputra
4 min readOct 20, 2021
http://www.freepik.com Designed by macrovector

Dibanding langit, laut menyimpan jauh lebih banyak misteri. Laut punya banyak sekali kisah-kisah yang tidak mau ia ceritakan, ia tenang bersama kesendirian dan kegelapan. Banyak yang ingin tahu kisah laut, akhirnya tentu saja bisa ditebak. Sia-sia. Laut memilih memeluk erat ceritanya, merahasiakan dari siapapun, dan sampai kapanpun.

Sedang Amira juga tidak berbeda. Setiap perjumpaanku dengannya, bertambah satu rahasia dan cerita yang tidak mau ia sampaikan. Ia gadis cantik, sangat cantik malah. Tapi aku (yakin) tidak menyukainya sejak pandangan pertama. Terlalu klise. Menurutku cuma ada dua orang yang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Satu, dia adalah aktor, dua pasti dia orang tidak waras.

Pandangan pertama hanya memunculkan ketertarikan, sedang cinta, ia butuh banyak variabel untuk memastikan keberadaanya. Bisa saja muncul serta merta, tapi tidak secepat pandangan beberapa detik.

Orang asing di tanah asing bukanlah konsep yang menarik, dulu pikirku seperti itu. Tapi Amira memberi hal yang berbeda, menunjukan padaku, keterasingan tidak selama buruk, buktinya, sejak bertemu dengannya, aku menemukan warna baru. Warna cerah bercahaya, kadang bahkan berkobar menerangi gulitanya malam.

Aku ingat sekali pertemuan pertamaku dengan Amira. Aku dan dia secara kebetulan — terimakasih Tuhan, berseberangan duduk ketika acara penyambutan mahasiswa baru. Setelah itu kami berjumpa kembali di UKM yang sama. Perjumpaan kali ini bukanlah kebetulan, walaupun kata Tuhan jodoh urusan prerogatif-Nya, tapi setidaknya menurutku, mendekatkan serta mempermudah urusan itu tentu bukan hal buruk.

Pada masa orientasi aku hampir mendaftar semua UKM yang tersedia hanya untuk bisa bertemu Amira lagi. Untung bagiku, Amira mendaftar di UKM yang tidak terlalu ekstrim. Setidaknya masih bisa kusiasati.

Yah, akan sangat tidak lucu jadinya bila Amira ikut Mapala, sedang menurutku tidur saja bisa membuatku capai. Kami bertemu di UKM kepenulisan. Unit kegiatan yang sebenarnya sebisa mungkin kuhindari.

Aku jauh sekali dengan dunia tulis menulis, membaca saja aku malas. Tapi untuk bertemu Amira lagi, aku harus berpura-pura antusias.

Sebelum bertemu dengannya lagi di hari orientasi pengenalan UKM, aku menghafal nama novelis yang sulit dieja, dan tentu saja, buku mereka belum pernah ku baca hanya agar terlihat keren. Aku menghabiskan sepanjang malam membuka laman-laman wikipedia. Membaca tentang Leo Tolstoy, seorang bapak-bapak Rusia yang menulis buku berjudul Hadji Murat, nama tokoh yang sangat Arab. Aneh sekali. Aku tidak tahu buku aneh itu bercerita apa.

Aku juga membaca tentang George Orwell, orang Inggris yang lahir di India lalu menulis tentang binatang. Aku tidak paham jalan pikirnya, tapi ia ikut tercantum dalam list Penulis-penulis terbaik yang mahakarya harus kamu baca, nomor lima bikin kamu keringetan! Sehingga mau tidak mau harus kubaca, bila nanti Amira bertanya penulis favoritku pastilah akan kujawab dia, alasannya karena aku suka binatang.

Aku membaca tentang Kafka, Harper Lee, Haruki Murakami, Viktor Hugo, Hemingway, Mark Twain, Camus, dan bederet nama yang bikin lidahku kelu berkelindan. Hanya untuk menyakinkan Amira betapa bagus dan tingginya seleraku.

Aku tidak akan menyebut nama macam J.K Rownling, Dan Brown, atau Stephenie Meyer, aku tidak ingin terlihat begitu pop dengan membaca buku berkualitas rendah begitu. Begitu pula tidak dengan Tere Liye, Raditya Dika, atau Sapardi, untuk penulis Indonesia setidanya aku hanya akan menyebut Eka Kurniawan. Buku terbaiknya? Tentu Lelaki Harimau, sudah ku bilang aku suka binatang. Aku harus terlihat intelek, yang hanya membaca buku-buku mahakarya penulis sebelum melenium berganti, berat, sarat isi, dan gaya sastra memikat.

Kiat ini kudapat setelah bertanya pada kating yang tiap hari ku temui di kantin kampus dan bertanya perihal keberadaan tuhan pada hari pertama kami bertemu. Aku tidak ingat nama kating itu, yang ku ingat hanya rambut gimbal sebahu, mata dengan lingkar hitam seolah memakai celak. Kaos oblong putih lusuh robek di dada kiri, bikin puting hitam tidak layak lihat menonjol menjijikan, serta selalu menenteng tote bag bergambar setan, yang aku yakin digambar sendiri karena terlihat sangat buruk.

Isi tote bag itu? Bakau, alat pelinting, dan buku merah berjudul Madilog. Padahal aku yakin sekali ia tidak mengikuti unit kegiatan teater. Entahlah.

Pada hari orientasi aku tidak mampu memikat Amira dengan nama-nama hafalanku. Sia-sia. Rupanya ia sama tidak familiarnya dengan ku. Penulis terbaik menurutnya Rintik Sedu, dan langsung ku iyakan, walaupun aku tidak tahu dia menulis apa.

Amira rupanya ikut UKM Penulis karena ingin menjadi jurnalis. Ia tidak suka membaca novel. Amira lebih suka membaca koran. Ia antusias sekali menyebut jurnalis terbaik. Sedang aku hanya mengangguk kepala berpura mengerti. Aku hanya tahu satu jurnalis, Najwa Shihab. Puisi diakhir acaranya keren, kadang aku kutip untuk status Facebook.

Tapi selalu, kehendak tuhan akan lebih baik dari pada yang sekadar keinginan manusia. Setelah tiga bulan aku berteman dengan Amira, tidak ada kemajuan berarti dalam hubungan kami. Sepanjang waktu itu, Amira masih memandang aku hanya seorang teman, posisiku sama seperti Fitron, lelaki lusuh yang kerjaan numpang tidur di UKM setiap hari.

Memang aku dan Fitron punya beberapa kesamaan, aku dan dia sama-sama miskin dan cukup jelek, serta sama-sama menyedihkan bila bicara perihal kisah cinta. Aku ingat sekali, suatu waktu ia pernah menangis sepekan penuh, hanya karena pacarnya sudah tidak kerasan lagi bersama.

Tentu aku tidak diposisi layak dilayak menghibur Fitron, pernyataan cintaku sudah empat kali ditolak Amira. Semakin gigih aku mencoba mengakrabkan diriku dengan Amira, semakin kuat juga Amira menjauh dariku. Waktu itu aku tidak tahu kenapa. Amira hanya mengataka ada rahasia yang tidak bisa ia ceritakan padaku.

“Aku tidak bisa menceritakan rahasiaku ini, maaf”

“Kenapa? Apakah kamu bisa menceritakan rahasia itu pada orang lain?”

“Sepertinya juga tidak”

“Pada orang penting dalam hidupmu nanti juga tidak?”

“Kalau seperti itu, mungkin saja”

“Begini saja, anggap saja aku suamimu, kamu tentu bisa menceritakan rahasia itu pada suami kan?” Aku tersenyum, tentu berbahagia sekali menjadi suami Amira. Ada jeda diobrolan kami, Amira seperti masih ragu-ragu. Lalu ia mulai membuka mulut.

“Maaf, aku alergi orang jelek!”

Setelah mengatakan itu Amira berlari kencang sekali tidak tahu kemana. Aku terdiam mematung. Hujan mulai turun, kepalaku kacau. Saat itu juga ku putuskan langsung menuju ke indekos Fitron, persetan dengan hujan. Setidaknya disana aku punya tempat untuk menangis sepekan penuh.

--

--